Penahkan kalian membaca atau mendengar ayat ini?
Bismillah..
“Kaum laki-laki adalah qawwam (pemimpin) atas kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah menjaga mereka…..”(QS. An Nisa’ 34)
Kalimat karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka dalam ayat ini, ditulis oleh Al Qaradlawy dalam Fatawi Mu’ashirah-nya, menunjukkan bahwa qawwamah asasi ini berkait dengan kehidupan keluarga. Itulah kepemimpinan dalam kehidupan rumah tangga. Itulah makna firman Allah yang didahului dengan penegasan antara kesetaraan hak dan kewajiban. Itulah keagungan ayat yang didahului dengan pernyataan gambling tentang hak perempuan, dengarlah ….
“…dan para wanita mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari isterinya…” (QS. Al Baqarah 228)
Lalu apa hadist ini? (Ini juga yang menjadi pertanyaan admin selama ini)
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menguasakan urusan mereka pada perempuan.” (HR. Bukhari, dan Abu Bakrah)
Mari kita dengarkan lagi apa yang dikatakan Syaikh Yusuf Al Qardlawy. Yang dimaksud hadist ini adalah-kata beliau- kekuasaan umum atas seluruh umat, yakni memimpin daulah, sebagaimana ditunjukkan oleh kata amrahum (urusan mereka) pada hadistnya. Adapun terhadap urusan tertentu yang khusus, lanjut beliau, maka tidak ada larangan bagi wanita untuk menguasainya, seperti wilayah fatwa dan ijtihad, pendidikan dan pengajaran, ilmu hadist, administrasi, dan sebagainya.
Maka oleh karena itulah, Umar mengangkat Asy Syifa’ binti ‘Abdullah Al ‘Adawiyah sebagai pemimpin jawatan pengawas pasar di masanya. Maka sebab itulah ‘Aisyah merasa tidak terhalang untuk memimpin pasukan didampingi Thalhah dan Az Zubair dalam Perang Jamal. Kalau disebutkan dalam riwayat shahih bahwa ‘Aisyah menyesali tindakannya, bukan kepemimpinannya yang beliau sesali. Bahkan bukan menyesali keluarnya ia dari rumah yang oleh sebagian ulama ditafsir sebagai pelanggaran terhadap ayat : “Dan hendaklah kalian (isteri-isteri Nabi) tetap tinggal di rumah kalian…” (QS. Al Ahzab 33). Yang beliau sesali adalah kesalahan ijtihadnya untuk mengangkat senjata melawan ‘Ali bin Abi Thalib sebagai akibat fitnah yang begitu dahsyat. Begitulah..
(adapted from :Agar bidadari Cemburu Padamu, Pro-U media 2010, Salim A.Fillah)